Dalam suatu transaksi, ketika seseorang sudah menggunakan jasa orang lain, seperti jenis tugas atau pun pekerjaannya, tapi yang harus diutamakan adalah pembayaran upah atau gajinya harus segera dibayarkan pada saat sesuai dengan yang diperjanjikan atau yang dipersyaratkan. Kalau tidak dibayarkan segera, sangat bermungkin berdampak permasalahan lain sebagai contoh persoalan keberlangsungan hidupnya ke depan akibat upah tidak kunjung dibayar. Inilah persoalan yang perlu diperhatikan dalam hal pembayaran upah atas penyelesaian pekerjaan yang telah disepakati.
Kewajiban bagi majikan adalah memberikan gaji atau upah kepada orang yang telah bekerja padanya. Dalam fikih Islam, upah atau gaji dikenal dengan istilah ijarah. Dalam Kitab al-Mujam al-Wasit, ijarah didefinisikan dengan upah atas pekerjaan dan akad manfaat dengan ganti rugi.
Menurut Sayyid Sabbiq dalam Fikih Sunnah, al Ijarah berasal dari kata al Ajru yang berarti al ‘Iwadhu (ganti/kompensasi). Ijarah dapat didefinisikan sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa, dalam waktu tertentu dengan pembayaran upah sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Jadi, ijarah dimaksudkan untuk mengambil manfaat atas suatu barang atau jasa (mempekerjakan seseorang) dengan jalan penggantian (membayar sewa atau upah sejumlah tertentu). Dari pengertian ini, ijarah sejenis dengan akad jual beli namun yang dipindahkan bukan hak kepemilikannya, tetapi hak guna atau manfaat, manfaat dari suatu aset atau dari jasa/pekerjaan.
Dalam al-Mujam al-Wasit juga disebutkan standardisasi ijarah. Standarnya yang diterima pekerja adalah upah yang mencukupi si pegawai untuk hidup dengan kehidupan yang tenang dan nyaman. Bukan hal yang diperselisihkan lagi di kalangan fuqaha, pembayaran ijarah adalah sesuatu yang harus disegerakan. Seorang majikan tidak boleh menunda atau melambat-lambatkan penunaian ijarah, padahal ia mampu membayarkannya dengan segera. Hal ini berdalil dengan hadis dari Abdullah bin Umar RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah). Hadis sahih ini berupa perintah yang wajib ditunaikan para majikan. Haram hukumnya menangguhkan gaji pekerja tanpa alasan yang syar’i.
Pekerja yang dalam akad (kontrak kerja) digaji bulanan, maka di akhir bulan harus segera dibayarkan gajinya. Demikian juga pekerja harian, setelah selesai ia bekerja sehari itu, gajinya harus dibayarkan. Rasulullah SAW mengibaratkan jarak waktu pemberian upah dan selesainya pekerjaan dengan keringat. Jangan sampai keringatnya mengering, artinya sesegera mungkin setelah ia menyelesaikan pekerjaannya. Tidak menunggu esok, apalagi sampai berbulan-bulan.
Dalam ijarah, sewa dan upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar penyewa atau penguna jasa kepada pemberi sewa atau pemberi jasa sebagai pembayaran atas manfaat aset atau jasa yang digunakannya. Swa dan upah harus memenuhi beberapa kriteria. Yang pertama, harus jelas besarannya dan diketahui oleh para pihak yang berakad (tidak boleh ada variabel yang menjadikan gajinya bergantung pada besaran yang tidak pasti). Kedua, sewa dan upah boleh dibayarkan dalam bentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang serupa dengan objek akad. Ketiga, bersifat fleksibel dalam arti dapat berbeda untuk ukuran waktu, tempat, dan jarak serta lainnya yang berbeda. Begitu disepakati maka harga sewa dan upah akan mengikat dan tidak boleh berubah selama masa akad.
Imam al-Munawi mengatakan, seorang majikan yang menunda pemberian gaji, berarti ia sudah melakukan kezaliman kepada pekerjanya. “Diharamkan menunda pemberian gaji, padahal ia mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering,” demikian disebutkan al Munawi dalam Faidhul Qodir (jilid 1: hal 718). Imam al-Munawi berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, “Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman” (HR Bukhari Muslim).
Majikan yang suka menunda-nunda gaji para karyawannya sebenarnya mendapatkan ancaman serius dalam jinayah hukum Islam. Menurut al Munawi, majikan tersebut halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman. Hal ini berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, “Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman.” (HR Abu Daud, Nasa-i, Ibnu Majah).
Halal kehormatannya maksudnya ia termasuk dalam salah satu daftar orang yang boleh dibukakan aibnya kepada orang lain. Menunda penunaian gaji adalah salah satu bentuk kezaliman yang boleh dibeberkan tanpa perlu khawatir hal itu termasuk gibah (menggunjing orang lain).
Tidak hanya itu, jika majikan yang menunda pembayaran gaji karyawannya sudah pada tahap meresahkan, pihak berwenang bisa saja memberikan hukuman. Menurut al Munawi, ia bisa dihukum karena sikap menahan gaji adalah tindak kejahatan.
Banyak hal dilakukan pihak perusahaan untuk “mengakali” penunaian gaji para karyawannya. Perusahaan ingin agar gaji karyawannya bisa diundur dari waktu yang semestinya. Misalkan, gaji karyawan yang digaji secara bulanan, pembayarannya dilakukan di pertengahan bulan selanjutnya.
Dalam Mausuah al-fiqh al-Islami (3: 534) disebutkan, orang yang suka menahan ijarah atau malah memakannya, maka Allah akan menjadi musuhnya pada hari kiamat. Hal ini berdalil dengan hadis qudsi dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT berfirman, ada tiga jenis orang yang aku berperang melawan mereka pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang berjualan orang merdeka lalu memakan (uang dari) harganya, dan seseorang yang memperkerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya.” (HR Bukhari).
Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya terkait kasus majikan yang menahan gaji para karyawannya. Dalam situs resminya, para ulama yang tergabung dalam Al Lajnah Ad Daimah tersebut mengecam tindakan tersebut. Mengenai jika jika para karyawan rida dengan sikap majikannya yang menahan pembayaran gaji, Al Lajnah Ad Daimah menjawab harus ada kejelasan akad antara pekerja dan majikannya. Jika mereka rida pembayaran gaji dibayarkan setelah satu tahun atau ketika mereka akan pulang ke tanah airnya, hal ini tidak mengapa. Yang terpenting adalah kejelasan akad antara majikan dan pekerja agar di kemudian hari tidak ada yang dikecewakan.
Dengan demikian, “bekerja” dan “upah” adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lainnya, sehingga upah merupakan hak yang harus diperjuangkan selama menjalankan tugas sebagai pekerja. Hal tersebut juga pada dasarnya didukung dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja atau buruh tidak melakukan pekerjaan. Di samping itu, terdapat juga pengecualian-pengecualian terhadap pekerja yang tidak melakukan pekerjaan namun disebabkan alasan-alasan yang terdapat dalam Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, seperti misalnya karena sakit, dan lainnya.
Jalur atau cara yang dapat tempuh berdasarkan ketentuan UU PPHI dalam upaya penyelesaian perselisihan mengenai hak atas upah antara lain lewat jalur bipartit, maksudnya adalah suatu perundingan antara pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, yang berupa perselisihan hak antara pekerja dengan pengusaha. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 hari.
Jika dalam perundingan bipartit dicapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Apabila perundingan Bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur Tripartit yaitu dengan mendaftarkan ke Dinas atau Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi di wilayah kabupaten atau kota wilayah tempat kerja.
Jalur Tripartit adalah merupakan suatu penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, dengan ditengahi oleh mediator yang berasal dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Untuk perselisihan hak, yang dapat dilakukan adalah melakukan mediasi. Mediasi hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
Sumber :
http://www.riaupos.co/4811-opini-bayarlah-upah-sebelum-keringat-kering.html#.WA8xlTVslzW sebagaimana diakses pada tanggal 25 Oktober 2016.
Sri Nurhayati dan Wasilah. 2015. Akuntansi Keuangan Syariah. Jakarta : Penerbit Salemba Empat.